Keutamaan Bertani menurut KH Hasyim Asy'ari
KEOETAMAAN BERTCOTCOK TANAM DAN BERTANI
Oleh K.H.M. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar NU)
(Terbit di Majalah Soeara Moeslimin, No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363 atau 14 Januari 1944).
Allah Subhanahu wa Ta’ala, Zat yang mesti benar firman-Nya, telah berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Dan apabila sembahyang telah diselesaikan, maka berpencarlah kamu (bubarlah) di bumi dan carilah kan fadhal (rahmat) Allah. Dan sebutlah Allah banyak-banyak, agar kamu sekalian mendapat kebahagiaan.” (Surah Al-Jum’ah, ayat 10).
Di dalam tafsirnya, Ibnu Jarier menyebutkan demikian; “Firman Allah: ‘Wabtaghu min fadl-li’Llah’ (dan carilah akan rahmat Allah) bisa juga berarti: ‘Dan carilah rizki Allah, Dia-lah Zat yang menggenggam kunci gudang kekayaan, baik untuk keduniaan, maupun untuk keakhiratan kamu sekalian.’
Diceritakan oleh Sayidina Anas r.a., bahwa Junjungan kita, Nabi Muhammad, SAW bersabda, yang artinya: “Tak ada seorang Muslim yang menanam tanaman atau mencocokkan tumbuhan-tumbuhan, kemudian tanaman itu dimakan burung atau manusia atau binatang, melainkan dihitung menjadi shadaqah (sedekah) baginya.” (Bukhari II/30)
Diceritakan oleh Sayyidina Jabir, bahwa Junjungan kita Nabi Muhammad SAW telah bersabda, yang artinya: “Tak ada seorang Muslim yang menanam tanaman, melainkan bahwa sebagian dari tanaman itu yang dimakan orang menjadi shadaqah baginya, dan yang dicuri orang daripadannya juga shadaqah, dan yang dimakan binatang buas daripadanya juga jadi shadaqah. Pun yang dimakan burung daripadanya jadi shadaqah pula; dan tak ada sebagian dari tanaman itu yang dibencanai orang, melainkan jadi shadaqah baginya.”
Diceritakan oleh Sayyidina Jabir pula, bahwa Junjungan kita, Nabi Muhammad SAW telah masuk pada ladang kurma kepunyaan Ummi Mubassyir, maka bersabdalah ia, yang artinya: “Tidak ada seorang Muslim menanam tanaman dan tidak pula mencocokkan tumbuh-tumbuhan, kemudian dimakan orang daripadanya, atau binatang atau lainnya, melainkan itu menjadi shadaqah baginya.” (Muslim I/678).
“Pendek kata, bapak tani adalah gudang kekayaan, yang daripadanya itulah negeri mengeluaran belanja bagi sekalian keperluan. Pak tani itulah penolong negeri apabila keperluan menghendakinya dan di waktu orang-orang mencari pertolongan. Pak tani itulah pembantu negeri yang boleh dipercaya untuk mengerjakan sekalian keperluan negeri, yaitu di waktunya orang berbalik punggung (tak sudi menolong) pada negeri; dan pak tani itu juga menjadi sendi tempat negeri didasarkan.” (dari Muntahaa Amaali’l Khutabaa’ kaca1 355)
“Setengah ahli hikmat mengatakan: ‘Bahwasannya teraturnya agama adalah bergantung pada teraturnya dunia, sedang teraturnya dunia adalah bergantung pada uang. Dan uang itu terkumpul dari pada rakyat, sedang teraturnya hidup rakyat adalah bergantung pada sikap pembesar-pembesarnya yang adil.” (dari Itkhafu’Sadah Al-Muttaqien I/52)
“Ketahuliah, bahwa keterlibatan dunia dan teraturnya adalah berhasil dengan enam perkara; yakni yang menjadi sendi dunia:
1. Agama yang diturut orang;
2. Pemerintahan yang berpengaruh;
3. Keadilan yang merata;
4. Ketentraman yang meluas;
5. Kesuburan tanah yang kekal, dan
6. Cita-cita yang luhur.
(dari Adaabu Dunya wa’ddien baca 97).
Oleh K.H.M. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar NU)
(Terbit di Majalah Soeara Moeslimin, No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363 atau 14 Januari 1944).
Allah Subhanahu wa Ta’ala, Zat yang mesti benar firman-Nya, telah berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Dan apabila sembahyang telah diselesaikan, maka berpencarlah kamu (bubarlah) di bumi dan carilah kan fadhal (rahmat) Allah. Dan sebutlah Allah banyak-banyak, agar kamu sekalian mendapat kebahagiaan.” (Surah Al-Jum’ah, ayat 10).
Di dalam tafsirnya, Ibnu Jarier menyebutkan demikian; “Firman Allah: ‘Wabtaghu min fadl-li’Llah’ (dan carilah akan rahmat Allah) bisa juga berarti: ‘Dan carilah rizki Allah, Dia-lah Zat yang menggenggam kunci gudang kekayaan, baik untuk keduniaan, maupun untuk keakhiratan kamu sekalian.’
Diceritakan oleh Sayidina Anas r.a., bahwa Junjungan kita, Nabi Muhammad, SAW bersabda, yang artinya: “Tak ada seorang Muslim yang menanam tanaman atau mencocokkan tumbuhan-tumbuhan, kemudian tanaman itu dimakan burung atau manusia atau binatang, melainkan dihitung menjadi shadaqah (sedekah) baginya.” (Bukhari II/30)
Diceritakan oleh Sayyidina Jabir, bahwa Junjungan kita Nabi Muhammad SAW telah bersabda, yang artinya: “Tak ada seorang Muslim yang menanam tanaman, melainkan bahwa sebagian dari tanaman itu yang dimakan orang menjadi shadaqah baginya, dan yang dicuri orang daripadannya juga shadaqah, dan yang dimakan binatang buas daripadanya juga jadi shadaqah. Pun yang dimakan burung daripadanya jadi shadaqah pula; dan tak ada sebagian dari tanaman itu yang dibencanai orang, melainkan jadi shadaqah baginya.”
Diceritakan oleh Sayyidina Jabir pula, bahwa Junjungan kita, Nabi Muhammad SAW telah masuk pada ladang kurma kepunyaan Ummi Mubassyir, maka bersabdalah ia, yang artinya: “Tidak ada seorang Muslim menanam tanaman dan tidak pula mencocokkan tumbuh-tumbuhan, kemudian dimakan orang daripadanya, atau binatang atau lainnya, melainkan itu menjadi shadaqah baginya.” (Muslim I/678).
“Pendek kata, bapak tani adalah gudang kekayaan, yang daripadanya itulah negeri mengeluaran belanja bagi sekalian keperluan. Pak tani itulah penolong negeri apabila keperluan menghendakinya dan di waktu orang-orang mencari pertolongan. Pak tani itulah pembantu negeri yang boleh dipercaya untuk mengerjakan sekalian keperluan negeri, yaitu di waktunya orang berbalik punggung (tak sudi menolong) pada negeri; dan pak tani itu juga menjadi sendi tempat negeri didasarkan.” (dari Muntahaa Amaali’l Khutabaa’ kaca1 355)
“Setengah ahli hikmat mengatakan: ‘Bahwasannya teraturnya agama adalah bergantung pada teraturnya dunia, sedang teraturnya dunia adalah bergantung pada uang. Dan uang itu terkumpul dari pada rakyat, sedang teraturnya hidup rakyat adalah bergantung pada sikap pembesar-pembesarnya yang adil.” (dari Itkhafu’Sadah Al-Muttaqien I/52)
“Ketahuliah, bahwa keterlibatan dunia dan teraturnya adalah berhasil dengan enam perkara; yakni yang menjadi sendi dunia:
1. Agama yang diturut orang;
2. Pemerintahan yang berpengaruh;
3. Keadilan yang merata;
4. Ketentraman yang meluas;
5. Kesuburan tanah yang kekal, dan
6. Cita-cita yang luhur.
(dari Adaabu Dunya wa’ddien baca 97).
Posting Komentar untuk "Keutamaan Bertani menurut KH Hasyim Asy'ari"
Posting Komentar